BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Reforma
agraria terdiri atas dua aspek yakni aspek landreform dan aspek non-landreform
(lihat Wiradi, 1984; Fauzi, 2002; Syahyuti; 2007). Landreform merupakan
penataan ulang penguasaan lahan terhadap petani, sedangkan aspek non landreform
berupa berbagai hal untuk mendukungnya misalnya dukungan prasarana, kredit,
teknologi serta pendampingan dan pengembangan organisasi petani. Penataan
kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil yang dapat memberikan kepastian
penguasaan garapan bagi penggarapnya juga termasuk dalam cakupan pengertian
reforma agraria.Landreform merupakan ide lama. Namun, meskipun tidak pernah
berjalan efektif, secara resmi ia masih menjadi kebijakan pemerintah sampai
saat ini. Sementara landreform tidak berjalan, ironisnya, saat ini terus
berlangsung proses de-landreformisasi setiap hari. Petani secara
berangsur-angsur terus menjual lahannya secara sadar dan legal. Jika tidak
dijual, juga berlangsung fragmentasi lahan sehingga menjadi tidak lagi layak
secara ekonomis untuk digarap.Kenyataan lain, landreform yang terbatas tersebut
tidak diikuti dengan dukungan aspek “non landreform”, sehingga penggunaan lahan
tidak optimal, bahkan kembali di lepas ke pasar (Kasus di Sukabumi dan
Cirebon). Bagi sebagian kalangan, landreform merupakan satu-satunya cara untuk
meningkatkan akses dan penguatan hak petani terhadap lahan.
I.2 TUJUAN
Maksud dibuatnya makalah ini
adalah untuk mengetahui bagaimana serta
memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Sosiologi pedesaan.
I.3 RUMUSAN
MASALAH
·
Upaya apa yang
dilakukan untuk mengimbangi buruknya akses petani terhadap lahan?
·
Apa saja yang menjadi Hambatan
sulitnya Petani mengakses Lahan ?
PEMBAHASAN
II.1 DINAMIKA
HUKUM AGRARIA DAN EFEKTIVITS LANDREFORM UNTUK MENINGKATKAN AKSES PETANI KEPADA
LAHAN
(Peneliti
Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Paper
disampaikan pada workshop “Penguasaan dan Fragmentasi Lahan Pertanian di
Indonesia dan Dukungan Penelitian dalam Pelaksanaan UU No 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan..”, Cisarua 29 September – 1 Oktober
2011. Telah dimuat dalam Buku: Membangun Kemampuan Pengelolaan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan. IPB Press dan Badan Litbang Pertanian, 2011)
Abstrak
Pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani selalu menghadapi kendala, karena pelaksanaan landreform di Indonesia yang tidak pernah efektif. Kajian terhadap berbagai aturan menunjukkan bahwa, meskipun tidak berhasil menjalankan landreform secara massal dan serentak, pemerintah selalu berupaya meningkatkan akses petani terhadap lahan melalui berbagai kebijakan. Perebutan hak penguasaan lahan dan bahkan konflik memperburuk akses petani terhadap lahan. Tulisan ini merupakan review terhadap berbagai kebijakan dihadapkan dengan dinamika penguasaan lahan oleh petani dalam setiap kurun pemerintahan. Analisis menunjukkan bahwa akses petani terutama petani kecil terhadap lahan cenderung semakin rendah. Dalam kondisi landreform yang tidak berjalan, beberapa program yang diimplementasikan adalah konsolidasi lahan, trasmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Memasuki abad ke-21, dibawah kondisi ekonomi yang cenderung neo-liberal, landreform masih tetap menjadi agenda di beberapa negara, dan di Indonesia masih diakui sebagai sebuah program pemerintah secara resmi, meskipun kemajuannya sangat lambat.
Kata kunci: landreform, reforma agraria, akses lahan, petani
Pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani selalu menghadapi kendala, karena pelaksanaan landreform di Indonesia yang tidak pernah efektif. Kajian terhadap berbagai aturan menunjukkan bahwa, meskipun tidak berhasil menjalankan landreform secara massal dan serentak, pemerintah selalu berupaya meningkatkan akses petani terhadap lahan melalui berbagai kebijakan. Perebutan hak penguasaan lahan dan bahkan konflik memperburuk akses petani terhadap lahan. Tulisan ini merupakan review terhadap berbagai kebijakan dihadapkan dengan dinamika penguasaan lahan oleh petani dalam setiap kurun pemerintahan. Analisis menunjukkan bahwa akses petani terutama petani kecil terhadap lahan cenderung semakin rendah. Dalam kondisi landreform yang tidak berjalan, beberapa program yang diimplementasikan adalah konsolidasi lahan, trasmigrasi, dan perbaikan sistem bagi hasil. Memasuki abad ke-21, dibawah kondisi ekonomi yang cenderung neo-liberal, landreform masih tetap menjadi agenda di beberapa negara, dan di Indonesia masih diakui sebagai sebuah program pemerintah secara resmi, meskipun kemajuannya sangat lambat.
Kata kunci: landreform, reforma agraria, akses lahan, petani
II.2 PENSTRUKTURAN
KONSEP “PEMBARUAN AGRARIA” YANG LEBIH
OPERASIONAL
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi saja, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”. Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Kesimpulannya, pembaruan agraria atau reforma agraria sama dengan “aspek landreform” ditambah “aspek non lendreform”.Penstrukturan terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Kemtan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Kemtan hanya mampu mewujudkan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002). A“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee). Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.
Tabel 1. Rekonseptualisasi pembaruan agraria, struktur permasalahan, serta apa yang dapat dilakukan pada masing-masing aspek
Dalam Pasal 2 Tap MPR IX/2001, Pembaruan Agraria didefnisikan sebagai “Suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfatan sumber daya agraria ...”. Terlihat bahwa, dari empat point tersebut, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi saja, yaitu: (1) sisi penguasaan dan pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Kedua sisi ini jelas berbeda. Yang pertama berbicara tentang hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua tentang bagaimana tanah dimanfaatkan secara fisik. Dengan kata lain, reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Kedua sisi tersebut ibarat dua sisi mata uang yang harus dilakukan secara seiring. Namun sayangnya, sebagian besar pihak hanya tertarik kepada satu sisi saja yaitu tentang “penguasaan dan pemilikan”. Dari berbagai literatur, maka sisi pertama saya sebut dengan “aspek landreform” dan sisi kedua menjadi “aspek non-landreform”. “Landreform” adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Jadi, reforma agraria tidaklah semata-mata landreform, namun landreform yang dilengkapi dengan berbagai hal lain sehingga penataan dan pendistribusian tanah tersebut menjadi lebih bermanfaat, yaitu dengan bantuan bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut sebaik-baiknya. Kesimpulannya, pembaruan agraria atau reforma agraria sama dengan “aspek landreform” ditambah “aspek non lendreform”.Penstrukturan terhadap konsep ini ini sangat penting, karena Kementerian Pertanian misalnya hanya memiliki otoritas pada aspek non-landreform. Ketika landreform masih tinggal menjadi wacana, Kemtan sulit untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Artinya, Kemtan hanya mampu mewujudkan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, ketika landreform berhasil diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun harus disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yang sia-sia jika infrastruktur dan kelembagaan pendukung pertanian tidak disediakan. Hal ini penulis temukan di Sukabumi, dimana banyak petani yang memperoleh lahan dari kebun-kebun swasta yang sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, malah menjualnya kepada orang kota karena mereka tidak mampu mengusahakannya; baik karena infrastruktur yang lemah, ketiadaan modal, maupun karena mental berusahatani yang lemah (Sumaryanto et al., 2002). A“Aspek landreform” dapat dimaknai sebagai penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya adalah masalah hukum (negara dan adat), tekanan demografis, serta struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yang dihadapi pada aspek ini adalah konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal dan horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA dan “turunannya”), ketimpangan penguasaan dan pemilikan, penguasaan yang sempit oleh petani sehingga tidak ekonomis, serta ketidaklengkapan dan inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yang relevan pada aspek landreform ini misalnya adalah penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah dan cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan sistem penyakapan), serta penertiban tanah guntay (absentee). Sementara pada “aspek non-landreform” yang didefinisikan sebagai penataan ulang penggunaan dan pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya adalah faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal dan global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, serta insentif dari usaha pertanian. Permasalahan yang dihadapi sekarang dari sisi aspek ini di antaranya adalah kesuburan lahan yang rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan atau karena ketidaktepatan secara teknis, dan konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal dan horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yang relevan adalah berbagai bentuk pengelolaan dan pengusahaan tanah secara tepat dan efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah dengan penerapan teknologi, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, serta pengembangan keorganisasian petani.
Tabel 1. Rekonseptualisasi pembaruan agraria, struktur permasalahan, serta apa yang dapat dilakukan pada masing-masing aspek
II.3 DINAMIKA AKSES PETANI TERHADAP
SUMBER DAYA LAHAN PADA BERBAGAI ERA
Penelusuran secara historik menunjukkan bahwa akses petani terhadap lahan tidak pernah menggembirakan. Berikut dipaparkan berbagai bentuk perubahan kebijakan tentang agraria dari masa ke masa.
·
Kepemilikan semu petani pada pada
Masa Feodalisme
Pada era kerajaan, secara prinsip tanah (dan rakyat)
adalah “milik raja”. Karena itu, setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk
raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh (Fauzi,
1999). Akibatnya, petani kurang terdorong untuk mengoptimalkan surplus
produksi, karena surplus tersebut tidak dapat dinikmati petani secara penuh,
namun mengalir ke keluarga raja dan birokrasi keraton.
Struktur penguasaan tanah yang berlangsung merepresentasikan struktur sosial masyarakat di pedesaan. Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.
Penelitian
Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada
empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang
penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat
hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti
masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup sebagai buruh
tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri,
serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.
Pada masa
itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property atau eigendom) memang
tidak dikenal (Wiradi, 2000). Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki
pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian
politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan
kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya
hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai
dengan adat yang berlaku.
Tentang pola
penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah
berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984),
terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dimana penguasan
individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola
penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu
pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan
beberapa hak istimewa komunal. Disamping itu, juga ada tanah “individual”,
yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga,
dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak
diperbolehkan.
Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985).
Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985).
·
Petani Menyewa ”Tanah Pemerintah”
pada era Pemerintahan Kolonial
Dua
kebijakan pokok yang dirasakan sangat berpengaruh besar - bahkan hingga saat
ini - pada masa pemerintahan kolonial, adalah pengenaan pajak tanah dan mulai
berlakunya sistem penyewaan tanah dalam jangka panjang (25 –30 tahun) yang
dikenal dengan erfpacht atau tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah
kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal (para bupati). Pajak tanah
dimulai ketika masa Gubernur Jenderal Raffles. Saat itu, seluruh tanah dianggap
sebagai tanah desa, sehingga pemerintah desa menarik pajak tanah berupa natura
dari penduduk.
Lalu,
pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische
Wet). Peraturan ini bersifat dualistis, dimana bagi orang asing berlaku hukum
Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. UU ini menjamin
kepemilikan pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan penduduk untuk
mendapatkan hak pribadi. Mulai saat itu, dimungkinkan untuk memiliki mutlak
(hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Tujuan untuk
melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli, ternyata
jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan
baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang lebih tergiur untuk memberikan konsesi
kepada para penguasa swasta asing, dibanding memberikannya ke warga sendiri.
Konflik pertanahan antara pihak swasta yang didukung pemerintah dengan
masyarakat sudah mulai terjadi.
Era
berikutnya, dengan asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda, pemerintah
melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani (Fauzi, 1999: 28). Sistem
sewa ini pada dasarnya agar dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum
serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani, bukan benar-benar
memberikan penguasaan lahan yang riel kepada petani.
Jadi, dengan
pola penguasaan disewa atau dengan pajak, masih bersifat sepihak yaitu untuk
kepentingan diri Belanda belaka. Di era kerajaan maupun Belanda, kondisinya
masih sama, petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan
sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.
Secara
ringkas, sebagaimana dikatakan Husken (1998), pemilik tanah yang jumlahnya
sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses
produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik dan menguasai tanah sawah
dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah
tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya; hanyalah pengikut yang
powerless. Saat ini masih dapat dijumpai di Jawa beberapa orang dalam satu
jaringan keluarga besar yang memiliki tanah sawah luas, terutama pada lokasi
basis tebu di Jawa Tengah dan Timur.
·
Landreform terbatas pada era Orde
Lama
Masa Orde
Lama, yaitu mulai dari kemerdekaan sampai dengan tahun 1966, merupakan masa
tumbuhnya kebijakan agraria yang idealis. Pada masa ini berhasil dihasilkan
suatu produk hukum yang sangat fundamental yaitu Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) no. 5 tahun 1960. Selain itu juga berhasil disusun dan diundangkan UU
no. 56 tahun 1960 tentang landreform, serta UU no. 2 tahun 1960 tentang Bagi
Hasil untuk pertanian dan UU 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil pada usaha
perikanan laut. Dengan lahirnya UUPA, artinya pemerintah memberi perhatian
serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam
pembangunan pertanian dan pedesaan.
Kegiatan
landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian
gagal karena ditunggangi oleh muatan politik (Partai Komunis Indonesia).
Landreform, dalam arti redistribusi tanah, mulai dilaksanakan sekitar tahun
1961, dan marak sampai tahun 1965. Setelah itu, landreform tetap berjalan namun
dalam kecepatan dan luas yang sangat lambat. Meskipun demikian, sampai dengan
tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah obyek landreform
sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di
seluruh Indonesia . Pelaksanaan landreform di Indonesia mengalami stagnasi,
tersendat-sendat, dan tidak tuntas. Hambatan utama pelaksanaan landreform
adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintahan Orde Baru yang lebih mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Program
landreform dimulai setelah keluarnya seperangkat peraturan perundang-undangan
landreform, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah
Partikelir, UU No 2/1960 tentang Bagi Hasil, UU No 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, Peraturan Pemerintah (PP) No 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, serta perangkat peraturan lainnya. Penyebab
utama kegagalan landreform adalah karena rendahnya kemauan dan dukungan
politik, tidak tersedianya biaya, data dan informasi, serta lain sebagainya.
Pada periode
1945—1960 tumbuh semangat untuk menata-ulang masalah pemilikan, penguasaaan dan
penggunaan tanah. Dilaksanakan uji coba landreform dengan skala terbatas.
Berdasar UU No. 13/1946, dilangsungkan landreform di daerah Banyumas, serta UU
Darurat No. 13/1948 untuk landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan
Surakarta. Pada periode ini dihadapi situasi yang dilematis. Di satu pihak,
gagasan awalnya bahwa proyek utama reform itu adalah tanah-tanah perkebunan
dengan hak erfpacht , tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan
tanah-tanah terlantar. Tapi, sesuai perjanjian KMB, rakyat harus dikeluarkan
dari tanah-tanah perkebunan milik modal swasta Belanda. Tahun 1957 akhirnya Indonesia
membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 dilangsungkan proses nasionalisasi
perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958
menghapuskan tanah-tanah partikelir.
Pada periode
demokrasi terpimpin (1960—1965), tidak banyak kemajuan. Sukarno menerapkan
kebijakan agraria (neo) populis, dimana land reform dijalankan melalui ”Paket
UU Landreform”. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang
Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran
Tanah, serta UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
·
Reforma agraria tanpa Landreform
pada Era Revolusi Hijau Orde Baru
Sepanjang
pemerintahan Orde Baru, yaitu selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform
tidak dilaksanakan sama sekali. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah
tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah
meskipun kurang memuaskan. Sejak tahun 1960, telah diterbitkan 23,6 juta
sertifikat tanah. Dari jumlah itu, sebanyak 66 persen merupakan hasil
pendaftaran secara sporadis (inisiatif pemilik tanah). Sisanya 34 persen adalah
hasil kegiatan secara sistematik (inisiatif pemerintah). Harus diingat,
sertifikat yang diterbitkan itu baru mencakup sebagian kecil dari total tanah
di Indonesia yang seharusnya dilegalisasi.
Pemerintah
hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek
struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan
perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang
memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat
membutuhkannya. Pembangunan pertanian Revolusi Hijau tanpa landreform, tanpa
sadar telah meminggirkan petani kecil. Program revolusi hijau dipercaya telah
menimbulkan polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya penegasan
stratifikasi, dan terusirya kelompok petani landless dari pedesaan
(Tjondronegoro, 1999). Permasalahan lainnya adalah penyusutan lahan pertanian,
akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan kegiatan
komersial lainnya terutama di Pulau Jawa. Penyempitan lahan pertanian itu
secara langsung meningkatkan jumlah petani gurem.
Mulai tahun
1981 dimulai program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria) untuk mempercepat
program registrasi tanah. Berikutnya, tahun 1988 berdiri Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan Keppres no. 26 tahun 1988, namun peranannya tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Selanjutnya, tahun 1999 keluar Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak
ulayat masyarakat hukum adat. Disini diberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk mendaftarkan tanah yang merupakan tanah adat atau tanah ulayat dalam
format kepemilikan komunal.
Revolusi
hijau yang mengabaikan persoalan agraria, memberikan dampak buruk kepada
masyarakat. Ini karena struktur penguasaan terhadap tanah adalah basis
kesejahteraaan suatu masyarakat. Apabila strukturnya timpang dan tidak adil,
maka segala upaya yang dijalankan pada sisi non-landrerform tidak akan mampu
memperbaiki keadaan ini.
·
Tarik Ulur Pusat dan Daerah pada Era
Reformasi
Masa
reformasi, yakni di jaman Presiden Abdurahman Wahid, akibat pernyataannya bahwa
40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada
rakyat, maka berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan
terbengkalai oleh pemiliknya. Salah satu produk hukum penting yang dihasilkan
oleh pemerintahan Reformasi dalam konteks Reforma Agraria, adalah keluarnya Tap
MPR No IX/MPR/2001. Secara tegas, Tap ini memberi mandat untuk melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan penataan
struktur administrasi birokrasi, yaitu berlakunya otonomi daerah. Permasalahan
agraria termasuk salah satu kebijakan yang diserahkan ke pemerintah daerah.
Dengan otonomisasi daerah saat ini, sesungguhnya ada peluang untuk melakukan
reforma agraria secara “lokal”. Persoalannya adalah bagaimana pemerintah daerah
masing-masing memaknai dan memahami reforma agraria.
Berdasarkan
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan
2, disebutkan bahwa tugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Artinya, pertanahan bersama-sama
dengan banyak kewenangan pusat lain telah diserahkan ke pemerintah daerah.
Aturan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun 1960 yaitu “hak
menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat hukum adat”. Namun demikian, aturan ini belum secara
tegas menjelaskan batasan sejauh mana kewenangan daerah dalam urusan pertanahan
yang berada di wilayahnya.
Dalam GBHN
1999-2004 sebagai misal, kondisi yang ingin dicapai dari kebijakan ini di
antaranya adalah makin kuatnya jaminan kepastian dan perlindungan hukum,
keberpihakan dan perlindungan hukum kepada golongan ekonomi lemah, serta
terciptanya iklim investasi yang semakin kondusif. Di tengah kegembiraan
pemerintah daerah dengan pelimpahan kewenangan tersebut, lahir Keppres No. 103
tahun 2001 yang menyatakan bahwa masalah pertanahan masih menjadi kewenangan
pemerintahan pusat. Ini merupakan suatu “sikap yang berhati-hati”. Pemberian
kewenangan secara bertahap merupakan langkah terbaik karena pertanahan memiliki
muatan politis yang sangat besar.
Namun
demikian, telah terjadi perubahan dalam otoritas pusat dan daerah dalam
beberapa segi agraria. Kegiatan pelayanan pertanahan untuk kepentingan
masyarakat sebagian besar telah dapat dilaksanakan di kota/kabupaten dan
propinsi.
Kewenangan
daerah kabupaten/kota, meliputi: Izin Lokasi, Pengaturan Persediaan dan
Peruntukan Tanah; Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah
negara; Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh
pihak yang tidak berhak/kuasanya; Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam
pengadaan tanah; Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar; Penyelesaian dan pemanfaatan
sementara tanah kosong; Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul;
Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform; Penetapan
penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); Penetapan harga dasar tanah;
Penetapan kawasan siap bangun (Kasiba).
Tahun 2007
pemerintah melansir “Program Pembaruan Agraria Nasional” dengan target
mendistribusikan tanah 8-9 juta ha lahan pemerintah kepada masyarakat. Tahun
2010, pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai
lebih dari 7 juta ha. Pemerintah sedang menyiapkan RUU Pertanahan dan PP Reforma
Agraria yang direncanakan selesai pada Desember 2010. RUU Pertanahan juga
mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan terkait
tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU
Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke
dalam sistem keagrariaan nasional.
Program
pemanfaatan tanah terlantar didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam aturan ini,
jika tanah yang dimiliki pemegang hak tidak digunakan selama tiga tahun,
pemerintah akan menertibkan haknya. Namun, PP Nomor 11 Tahun 2010 belum
memiliki perangkat di bawah yang bisa menjalankan dengan kuat. Belum ada
landasan pemaksa pemerintah daerah, atau bahkan instansi-instansi terkait untuk
menjalankannya.
Dari uraian
di atas terlihat, bahwa semenjak bergulirnya reformasi dan otonomi daerah,
perdebatan yang ramai baru sebatas permasalahan tarik ulur administrasi
pertanahan. Landreform belum menjadi perhatian yang serius oleh
instansi-instansi pemerintah, meskipun LSM dan berbagai organisasi petani telah
beberapa kali melakukan demonstrasi menuntut dilaksanakannya reforma agraria.
Pada dekade
terakhir, Presiden SBY tiga kali menyampaikan pidato penting mengenai agraria,
yaitu tahun 2007, lalu 15 Januari 2010, dan terakir pidato di Istana Bogor 21
Oktober 2010. Dalam jumlah yang sangat terbatas, presiden membagi-bagikan
sertifikat tanah kepada petani yang dilakukan secara simbolik di Istana Bogor,
21 Oktober 2010. Secara nasional, total tanah milik negara yang hak
kepemilikannya diserahkan kepada petani mencapai 142.159 hektar yang dilakukan
serempak pada 389 desa di 21 propinsi. Sebagai contoh, redistribusi lahan di
lapangan Desa Kutasari, Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 23 oktober
2010; ada sebanyak 291 hektar lahan dibagikan kepada 5.141 petani. Tiap petani
mendapat masing-masing 500 meter persegi. Di Batang, melalui pendampingan
pegiat landreform Omah Tani Kabupaten dan BPN, berlangsung distribusi tanah
32,7 ha kepada 144 keluarga di Desa Kuripan, Kecamatan Subah.
Namun, ini
bukan sebuah reforma agraria, tapi bentuk menyelesaikan “masalah biasa” yang
sudah ada di depan meja BPN karena ada pengaduan dari masyarakat. Tanah yang
diredistribusikan kepada petani itu tanah negara yang digarap masyarakat dan
disertifikatkan BPN. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah
seluas 1,6 juta hektare.
Pada bulan
Agustus 2010, BPN menyatakan akan membagi-bagikan 6 juta hektar tanah ke
masyarakat. Namun, program ini masih menunggu selesainya Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) Reforma Agraria. Dengan RPP Reforma Agraria, nantinya
diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare dan
ditargetkan selesai pada 2025. Sepanjang tahun 2010, dapat dikatakan belum ada
komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menjalankan landreform. Sebaliknya,
lahir sejumlah kebijakan yang dinilai anti-pembaruan agraria.
II.4 KONFLIK PERTANAHAN DAN LEMAHNYA PENGAKUAN DAN PENEGAKAN HUKUM LAHAN UNTUK PETANI
Berdasarkan data BPN, saat ini sedikitnya ada 7.491 kasus konflik tanah,
terdiri dari 4.581 sengketa tanah dan 858 konflik konflik antara petani dan
pihak swasta yang mengelola tanah. Sementara, berdasarkan data kasus KPA,
hingga 2010 ini tercatat ada 2.163 konflik agraria. Lalu, sengketa tanah yang
tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai Januari 2010 adalah sebanyak
ada 9.471 kasus konflik, dimana 4.578 kasus di antaranya telah terselesaikan.
Data KPA 2001 menunjukkan jumlah kasus mencapai angka 2834 kasus yang pernah
dilaporkan kepada berbagai LSM oleh masyarakat sejak jaman Orde Baru. Inventarisasi
BPN yang dilaporkan ke Komisi II (18 September 2007) menyebut angka 7468 kasus.
Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).
Akar permasalahan hukumnya adalah tumpang-tindihnya peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan UUD 45, UUPA dan UU lain. Hal ini diperparah egoisme sektor-sektor birokrasi, sehingga satu sama lain tidak sinergis, bahkan sabotase terhadap program sektor lain. Hambatan di tingkat bawah, misalnya dari elite desa, partai di tingkat lokal, dan makelar tanah; juga ikut berpotensi menyabotase penyelenggaraan landreform.
Sepanjang tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah, dimana luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektare dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Jenisnya adalah sengketa atas lahan perkebunan besar (45 kasus), kemudian diikuti dengan pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (41 kasus), kehutanan (13 kasus), pertambangan (3 kasus), pertambakan (1 kasus), perairan (1 kasus), dan lain-lain (2 kasus).
Akar permasalahan hukumnya adalah tumpang-tindihnya peraturan yang disebabkan sektoralisme peraturan perundang-undangan. Satu sama lain saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan UUD 45, UUPA dan UU lain. Hal ini diperparah egoisme sektor-sektor birokrasi, sehingga satu sama lain tidak sinergis, bahkan sabotase terhadap program sektor lain. Hambatan di tingkat bawah, misalnya dari elite desa, partai di tingkat lokal, dan makelar tanah; juga ikut berpotensi menyabotase penyelenggaraan landreform.
Hasil penelitian Dr. Wolf Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di
Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom di
Jepang), menympukan bahwa akar konflik adalah karena antara gagasan dan tindakan
pelaksanaan tidak konsisten, dimana pelaksanaannya rumit dan birokrasi yang
berbelit-belit; serta model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif
yang ada. Batas minimum 2 hektar yang akan diberlakukan secara menyeluruh
dianggap tidak realistis.
Menurut Mc Auslan, hambatan pokok landreform dekade 1960-an di luar
konstelasi politik dan sosial adalah hambatan ilmiah. Meskipun UUPA 1960
merupakan produk hukum terbaik selama sejarah RI, kerangka, format dan
rumusannya “modern”, memiliki kepekaan “gender”; dan mempunyai idealisme
menghapuskan eksploitasi ; namun dalam hal hukum adat, kaitan dan penempatannya
dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas, program landreform-nya juga dianggap belum
terlalu jelas, dan kurang mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai
hambatan. Hambatan lain, walaupun sudah terlalu banyak pembahasan “hukum
agraria”, adalah lemahnya dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan
politik, bahkan juga hankam berkenaan dengan keagrariaan nasional.
Pola Asal-Usul Petani Menguasai Tanah
Pola Asal-Usul Petani Menguasai Tanah
Dalam kondisi yang demikian, dapat dirumuskan pola bagaimana petani dapat
memperoleh lahan. Hal ini dapat memperjelas mengapa petani rendah aksesnya
terhadap lahan sampai saat ini. Di pedesaan Jawa, perolehan lahan dapat dibagi
dalam empat bentuk yang antar lokasi mempunyai sebutan yang berbeda.
Pertama, tanah pemberian raja atau Pemerintah Hindia Belanda.Tanah ini di
Jawa Barat disebut dengan “tanah cacah” atau “tanah sikep”, di Klaten disebut
“tanah sanggan”, dan di Jawa Timur disebut “tanah gogolan”. Di beberapa tempat
di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang menyebutnya “tanah norowito”. Tanah
jenis ini adalah tanah pemberian dari raja atau Pemerintah Hindia Belanda
kepada warga masyarakat yang memiliki tenaga kerja laki-laki dengan kewajiban
melaksanakan lakon gawe (Jawa Barat) atau songgo gawe (Klaten dan daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur), seperti gotong-royong, piket desa, menjaga keamanan
desa (meronda), membayar pajak yang lebih besar dan berbagai iuran desa dan
keagamaan.
Dua, tanah hasil pembukaan hutan oleh nenek moyang, atau oleh suatu komunitas dan keluarga. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut sebagai “tanah yasan”, sedangkan di Jawa Barat disebut “tanah iyasa”.
Dua, tanah hasil pembukaan hutan oleh nenek moyang, atau oleh suatu komunitas dan keluarga. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut sebagai “tanah yasan”, sedangkan di Jawa Barat disebut “tanah iyasa”.
Tiga, tanah titisara (bondo desa), yaitu tanah yang menjadi kekayaan atau
kas desa yang biasanya digarapkan pada anggota warga masyarakat yang kurang
mampu dan sebagian penghasilannya masuk sebagai kas desa. Pelaksanaan
akhir-akhir ini di pedesaan Jawa dilaksanakan dengan cara dilelang, siapa yang
berani menyewa dengan harga tertinggi merekalah yang berhak menggarap.
Terakhir, empat, Tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang sedang
menjabat dan untuk biaya operasional pemerintahan desa. Setelah diberlakukannya
UUPA, status tanah cacah dan iyasa dirubah menjadi hak milik perseorangan
melalui SK Gubernur, yang efektif pada periode tahun 1970-an. Sejak periode
tersebut tanah cacah, songgogawe, gogolan, norowito dan sikep dapat
diperjual-belikan dan diwariskan kepada ahli warisnya.
Di Luar Jawa, secara umum asal usul penguasaan lahan merupakan hasil bukaan hutan. Pada awalnya, membuka hutan dilakukan secara berkelompok bahkan keanggotannya bisa merupakan kelompok kesukuan, kelompok kekerabatan, maupun kelompok keluarga besar. Baru pada tahap selanjutnya pembukaan bisa dilakukan secara kelompok kekerabatan kecil, kelompok keluarga kecil, maupun individu. Pembukaan hutan secara bertahap dan berkelompok tersebut memunculkan adanya berbagai macam kepemilikan lahan sebagaimana ditemukan di daerah Sumatera Barat dan Dayak yang memunculkan tanah ulayat secara bertingkat (Jamal et al., 2001).
Di Luar Jawa, secara umum asal usul penguasaan lahan merupakan hasil bukaan hutan. Pada awalnya, membuka hutan dilakukan secara berkelompok bahkan keanggotannya bisa merupakan kelompok kesukuan, kelompok kekerabatan, maupun kelompok keluarga besar. Baru pada tahap selanjutnya pembukaan bisa dilakukan secara kelompok kekerabatan kecil, kelompok keluarga kecil, maupun individu. Pembukaan hutan secara bertahap dan berkelompok tersebut memunculkan adanya berbagai macam kepemilikan lahan sebagaimana ditemukan di daerah Sumatera Barat dan Dayak yang memunculkan tanah ulayat secara bertingkat (Jamal et al., 2001).
Khusus di DI Yogyakarta, dalam penelitian Jamal et al. (2001), penguasaan
lahan oleh petani dimulai dengan program klassering (classering) yang dimulai
tahun 1921 yang merupakan peristiwa penyerahan tanah “ kagungan dalem” kepada
rakyat, atau meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap
menjadi tanah yang berstatus “ anganggo turun-temurun”. Peristiwa ini kemudian
diperkuat dengan Perda No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya
kepada rakyat sehingga menjadi tanah milik privat. Klasering secara teoritis
merupakan suatu riel land reform, karena distribusi tanah kepada petani
didasarkan prinsip “ land tillers”. Pendistribusian tanah hanya ditujukan bagi
petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang mampu digarap oleh anggota
keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait dengan aspek penataan lahan
yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan secara optimal.
Contoh lain, di komunitas suku Dayak, penelitian Rousseou (1977), seorang
antropolog Canada, menyatakan bahwa corak penguasaan lahan orang Dayak Kanayan
tidak mengenal hak milik individu yang dapat dipindah tangankan (undevoluable
usufruct atau circulating usufruct system). Pendapat ini dikritik oleh Mering
(1989), seorang antropolog putra daerah, yang mengemukakan bahwa corak
penguasaan orang Dayak Kayan mengenal perbedaan hak milik individu dengan hak
milik bersama (communal). Sistem hak milik itu sendiri dapat dipindah tangankan
atau devoluable usufruct system, dengan cara diwariskan, diperjual belikan,
dihibahkan, atau dipertukarkan.
Hasil penelitian Jamal et al. (2001) mengemukakan bahwa hak masyarakat atas
tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “ hak milik adat turun temurun” yang
mencakup: hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang terdapat di
dalam maupun di atasnya. Adat mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri dari
: (1) Kepemilikan seko manyeko atau kepemilikan perseorangan, (2) Kepemilikan
perene’ant, yaitu tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari
beberapa keluarga dalam satu garis keturunan, (3) Kepemilikan Saradangan,
merupakan kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh suatu kampung, serta (4)
Kepemilikan Binua, adalah kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh beberapa
kampung satuan wilayah hukum adat (Ketemanggungan).
Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Barat umumnya telah mempunyai mekanisme
pendistribusian penguasaan lahan yang cukup bagus. Hanya saja, sistem ini
biasanya hanya sesuai untuk komunitas yang bersangkutan dan bersifat terbatas.
Sistem ini umumnya mengikuti jalur sistem kekerabatan hingga 3 turunan dan
bersifat relatif tertutup.
Berbagai Hambatan sulitnya Petani mengakses Lahan
Inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah. Tak dapat disangkal lagi, landreform memang merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam pembangunan pertanian sebagaimana telah dibuktikan oleh Jepang, Taiwan, RRC dan Vietnam. Landreform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Penyebabnya berakar pada dua hal pokok, dalam posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang lemah dan belum tersedianya modal sosial yang cukup di masyarakat, misalnya belum terbentuknya civil society yang memadai.
Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria negara. Jika selama ini, pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”; maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa.
Dalam Pasal 6 Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, disebutkan bahwa beberapa hal
yang menjadi agenda pembaruan agraria adalah: melakukan pengkajian ulang
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan; melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform);
menyelenggarakan pendataan pertanahan; menyelesaikan konflik-konflik;
memperkuat kelembagaan; serta mengupayakan pembiayaan. Empat aspek penting yang
diperlukan untuk terselenggaranya pembaruan agraria, yaitu kemauan politik dari
pemerintah, data yang lengkap dan teliti mengenai keagrariaan, organisasi
petani yang kuat, dan anggaran yang cukup; keempatnya dalam kondisi yang lemah.
II.5 BERBAGAI UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGIMBANGI BURUKNYA AKSES PETANI TERHADAP LAHAN
II.5 BERBAGAI UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENGIMBANGI BURUKNYA AKSES PETANI TERHADAP LAHAN
Secara konseptual, batasan pengertian mengenai tanah (land) tidak hanya
mencakup tanah dalam pengertian fisik (soil), tetapi mencakup juga air,
vegetasi, lansekap (landscape), dan komponen-komponen iklim mikro suatu
ekosistem. Implikasinya, konsep pengelolaan sumberdaya lahan harus
mengakomodasikan konstelasi nilai dari keseluruhan komponen tersebut, bahkan
termasuk pula populasi binatang dan pola hunian manusia (Scherr and Yadav,
1996).
Memperbaiki relasi antar pihak merupakan bagian dari reforma agraria.
Menurut Cohen (1978), reforma agraria adalah “... change in land tenure,
especially the distribution of land-ownership, thereby achieving the objective
of more equality”. “Land tenure” dalam kalimat ini dimaknai secara luas, tidak
hanya apa yang kita kenal sebagai “penyakapan”, tapi mencakup seluruh bentuk
hubungan sosial yang terjadi dengan tanah. Sebagian kalangan menyebutnya dengan
“sosio-agraria”. Artinya, reforma agraria dapat pula berbentuk konsolidasi
lahan, konsolidasi usaha, dan penataan hubungan sewa-menyewa dan bagi hasil.
Konsolidasi lahan lewat program pemerintah dapat berupa program transmigrasi,
pembatasan luas minimal pemilikan tanah, program kerjasama antara masyarakat
petani dengan perusahaan pertanian, dan program penataan perumahan. Sementara,
konsolidasi usaha pertanian berupa penyatuan usaha yang kecil-kecil ke dalam
satu manajemen sehingga lebih efisien (misalnya berupa corporate farming).
Ketiadaan program landreform yang dijalankan secara massal, menyebabkan
pemerintah memilih berbagai kebijakan lain dalam upaya meningkatkan akses
petani. Berikut dipaparkan tiga bentuk yang bisa dilakukan dalam upaya
memperbaiki penguasaan lahan terhadap petani. Hal ini menjadi relevan, karena
sebagaimana menurut Soesangobeng (dalam Sitorus, 2002) landreform berupa
penataan ulang pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wacana pusat,
namun aspek-aspek land tenure dapat diperankan oleh daerah mulai sekarang.
Pertama, konsolidasi Lahan
Pertama, konsolidasi Lahan
Menurut Fauzi (2002), cakupan pengertian mengenai land reform bukan hanya
berupa redistribusi tanah. Land reform dapat berbentuk koperasi atau
kolektivitas untuk mencapai skala ekonomi tertentu yang memungkinkan
perimbangan antar faktor-faktor produksi (terutama modal versus tenaga kerja)
menjadi lebih baik.
Konsolidasi lahan, yang pihak BPN seringnya menyebutnya dengan Konsolidasi
Tanah pertanian (KTP), mengandung banyak arti dan bentuk. Beberapa di antaranya
adalah Land Consolidation, Redistribtion of Land, Land Assembly (perakitan
lahan), Land Readjustment (penyesuaian bentuk lahan), Land Pooling (pengumpulan
lahan), dan Ruil Verkaveling (pertukaran petak lahan). Pada dasarnya
kondolidasi lahan mengandung 3 aspek, yaitu: (1) usaha mengatur atau menata
kembali sehingga tanah tersebut dapat dipergunakan secara lebih efisien, (2)
usaha untuk menata kembali tanah dimana si pemilik tanah tidak harus melepaskan
haknya, malah seharusnya ia mendapat keuntungan, dan (3) upaya ini harus
dijalankan dari dan oleh si pemilik tanah itu sendiri.
Menurut definisi Badan Pertanahan Nasional, Konsolidasi Tanah Pertanian
adalah: “penyatuan dan kemudian pembagian kembali tanah-tanah pertanian
sehingga menjadi suatu areal pertanian yang kompak dalam bentuk dan luas
petakan tertentu sedemikian rupa sehingga irigasi, drainase, farm road dan
persyaratan-persyaratan teknologi modern lainnya dapat diterapkan secara
efisien dan menguntungkan”. Konsolidasi lahan telah lama diprogramkan, namun
keberhasilannya sangat terbatas.
Kedua, program transmigrasi
Transmigrasi yang dimulai dari tahun 1950 dapat dipandang sebagai sebuah
land settlemen (Hardjono, 2002). Distribusi lahan untuk setiap petani awalnya
sebesar 2 ha, lalu menjadi 4-5 ha, namun karena berbagai pertimbangan
dikembalikan lagi menjadi 2 ha per rumah tangga. Realisasi program trasmigrasi
dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya iklim sosial politik, kebijakan
pemerintah, dan dukungan serta partisipasi masyarakat. Transmigrasi pada masa
kolonial Belanda didorong gagasan politik etis (ethische poliriek) yang diusung
oleh C Th van Deventer salah seorang anggota Raad van Indie pada tahun 1899.
Pada November 1905, program kolonisasi diluncurkan dengan pemberangkatan 155 KK
yang terdiri atas 815 jiwa dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, dan Purworejo
menuju Lampung.
Penanganan program transmigrasian datang silih berganti, dari satu kabinet
ke kabinet berikutnya. Pada 12 Desember 1950 dalam Kabinet Natsir diberangkakan
sebanyak 23 KK (77 jiwa) ke Lampung. Realisasi penempatan transmigrasi sejak
tahun 1950 hingga 1968 mencapai 98.631 KK. Pada tahun 2010 berlangsung
penempatan untuk 7.346 rumah tangga trasnmigran.
Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah, dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.
Ketiga, Perbaikan sistem bagi hasil
Pemerintah menerbitkan UU No 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Transmigrasi memiliki beban yang berubah-rubah, dari hanya sekedar mengurangi penududuk di Jawa, lalu sebagai pengembangan wilayah, perluasan tenaga kerja, dan sering pula diklaim sebagai kegoatan reforma agraria yang riel. Sampai saat ini transmigrasi masih dijalankan, namun skalanya menjadi sangat kecil. Iklim administrasi pemerintah yang tidak lagi sentral dan padu sebagaimana era Suharto, merupakan salah satu sebabnya.
Ketiga, Perbaikan sistem bagi hasil
Selain empat masalah agraria di Indonesia sebagaimana disampaikan dalam TAP
MPR No IX tahun 2001, yaitu: pemilikan tanah yang sempit dan timpang, konflik
pertanahan, inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam; salah satu
permasalahan lain adalah kesulitan dalam memberantas berkembangnya rent seeking
activity. Aktifitas yang tergolong dalam kategori ini utamanya adalah para
makelar tanah, yaitu mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika
harga sudah tinggi. Tanah dibeli tidak untuk digunakan, sehingga tanah
diperlakukan sebagai komoditas. Dalam kadar yang lebih ringan, para pemilik
tanah yang menyakapkan tanahnya kepada petani lain dengan pembagian yang tidak
adil, dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk penghisapan, yang pada
prinsipnya adalah juga bentuk dari sikap menjadikan tanah sebagai komoditas.
Penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang
perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting
dalam konteks sisi non-landreform, ketika landreform tumpul. Penataan bagi
hasil adalah salah satu bentuk reforma agraria yang mungkin dilaksanakan
(possible agrarian reform), sebagaimana telah tercantum pada UU No. 2 tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang disyahkan tanggal 7 Januari 1960.
Persoalan saat ini, dengan kondisi politik yang terbentuk, landreform
adalah hal yang peluangnya paling kecil dibanding aspek-aspek lain reforma
agraria. Mekipun tidak mampu melakukan landreform, namun aktifitas reforma
agraria tidak boleh berhenti, karena masih banyak hal lain yang dapat
dilakukan. Dengan kata lain, ada dua agenda reforma yang harus dilakukan dalam
reforma agraria, yaitu land tenure reform (hubungan pemilik-penyakap) dan land
operation reform (perubahan luas, pola budidaya, hukum penguasaan, dan
lain-lain). Penataan kembali hubungan sewa dan atau bagi hasil dapat memberikan
kepastian penguasaan garapan bagi penggarapnya.
Sesuai semangat Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2, bagi hasil merupakan
suatu komponen yang dapat menyumbang kepada kemakmuran, asalkan ada
perlindungan hukum dan menjunjung azas keadilan antar pelakunya. Bagi hasil
yang adil dapat memperkecil dampak absennya landreform, sebagai the second best
choice ketika redistribusi tanah belum dapat dilakukan.
Landreform dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Memperbaiki sistem penyakapan merupakan bagian dari jalan kedua yang lebih “soft. Di antara dua kutub bentuk landreform, yaitu melakukan penataan lahan sebagai aksi sosial yang serentak atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform); penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.
Landreform dapat menempuh dua jalan, yaitu secara serentak, cepat, dan menyeluruh; atau secara gradual namun berkelanjutan. Memperbaiki sistem penyakapan merupakan bagian dari jalan kedua yang lebih “soft. Di antara dua kutub bentuk landreform, yaitu melakukan penataan lahan sebagai aksi sosial yang serentak atau menyerahkannya kepada mekanisme pasar (market friendly agrarian reform); penataan bagi hasil berada di antara kedua titik ekstrim tersebut. Regulasi sistem bagi hasil dari pemerintah merupakan intervensi terhadap pasar ketenagakerjaan di pedesaan, dengan tujuan memberikan perlindungan kepada penyakap dan pemilik tanah sekaligus.
Bagi hasil yang berlaku pasa suatu wilayah merupakan sebuah bentuk
kelembagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial. Secara umum, bagi
hasil didefnisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik
tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara
natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut ”deelbouw”, merupakan
bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan
pada lebih kurang 2300 SM (Scheltema, 1985). Bagi hasil di pertanian merupakan
suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi,
modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto
(kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik
tanah masih tetap memegang kontrol usaha.
Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah “tenancy”, yaitu seluruh
bentuk penggunaan tanah yang buan milik si penggarap. Dalam konteks ini
tercakup sewa dan bagi hasil. Orangnya disebut dengan “tenant” atau “share
cropper”. Sementara istilah “owner crooper” adalah untuk petani yang sekaligus menggarap
tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Khusus di AS dikenal istilah
cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil. Di Indonesia, bagi
hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema, 1985). Bagi hasil di Aceh disebut
dengan meudua laba untuk bagi dua; di Sumatera Barat dikenal sebutan
mampaduokan, mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut
thesang-tawadua untuk bagi dua; di Bali dikenal nandu, telon, negmepat-empat,
dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal maro, mertelu, mrapat, dan
seterusnya.
Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil
di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua
Undang-Undang tentang bagi hasil, yaitu UU no. 2 tahun 1960 untuk bagi hasil di
pertanian, dan UU No. 16 tahun 1964 untuk bagi hasil di sektor perikanan. Namun
demikian, penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.
Bagi hasil yang berlaku semenjak dahulu di masyarakat membagi terhadap
hasil kotor (bahasa Belanda: deelbouw), namun dalam semangat landreform
menginginkan yang dibagi adalah hasil bersih (deelwinning). Pembagian dari
hasil kotor mengandung rasa sosial dan kebersamaan, dan lebih adil karena
penyakap dengan investasi kerja dan pemilik dengan investasi berupa tanah
sama-sama mengandung resiko. Namun, pada pola kedua resiko penyakap menjadi
lebih besar dibandingkan pemilik. Bagi hasil kotor terlihat lebih adil bagi
penggarap ketika sarana produksi yang dibeli sangat rendah. Namun ketika nilai
sarana produksi menjadi cukup penting, ditemukan berbagai pola. Pada sebagian
wilayah ada yang sarana produksi ditanggung secara bersama, namun pada wilayah
dimana kedudukan penyakap semakin terdesak, sarana produksi hanya ditanggung
oleh si penyakap.
Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.
Dapat dipaparkan beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pendangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung.
Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien
(patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah
hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan
cenderung tidak seimbang (Scott, 1993). Arus jasa yang tidak seimbang, dimana
jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya,
sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih
menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap.
Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerajakan sendiri tanahnya, tapi lebih karena sikap sosial pemilik karena permintaan penyakap yang membutuhkan lahan garapan. Penelitian Mayrowani et al. (2004) di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan, sangat jarang pemilik tanah yang memiliki sampai lebih dari dua hektar. Artinya, jika pun tidak ada penyakap mereka masih sanggup menggarap sendiri. Jadi, sedari awal, posisi penyakap yang subordinat tersebut, telah menempatkan mereka kepada situasi yang tidak sejajar secara politis dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen.
Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerajakan sendiri tanahnya, tapi lebih karena sikap sosial pemilik karena permintaan penyakap yang membutuhkan lahan garapan. Penelitian Mayrowani et al. (2004) di Kabupatren Pinrang Sulawesi Selatan, sangat jarang pemilik tanah yang memiliki sampai lebih dari dua hektar. Artinya, jika pun tidak ada penyakap mereka masih sanggup menggarap sendiri. Jadi, sedari awal, posisi penyakap yang subordinat tersebut, telah menempatkan mereka kepada situasi yang tidak sejajar secara politis dalam menegosiasikan pola pembagian hasil panen.
Namun demikian, dalam konteks ini, bupati sesungguhnya telah diberikan
kewenangan untuk mengatur bagi hasil di wilayah sebagaimana tercantum dalam UU
No. 2 tahun 1960 pasal 7: “Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak
penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat II ditetapkan
oleh Bupati/Kepala Daerah ....”.
Ketiga, sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut
juga didukung oleh UU No. 2 tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu:
“Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada
keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia,
banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan
kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya......”.
Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam pengaturannya, dan
ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas.
Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Padahal secara kasat mata terlihat bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak pernah lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun di wilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktifitas komoditas yang diusahakan. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).
Keempat, dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif. Padahal secara kasat mata terlihat bahwa tingkat kehidupan para penyakap tidak pernah lepas dari garis batas subsistensinya, meskipun di wilayah tersebut selalu terjadi peningkatan produksi dan produktifitas komoditas yang diusahakan. Sikap konformitas penyakap seperti ini juga ditemukan dalam hubungan antara nelayan pandega dengan pemilik kapal pada masyarakat nelayan (Syahyuti, 1995).
Untuk permasalahan ini, maka perlu pendidikan untuk memberi kesadaran
kepada para penyakap bahwa mereka adalah pelaku ekonomi aktif dalam kerjasama
usaha, sehingga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi. Meskipun
mereka tidak memiliki tanah yang digarapnya, namun dalam konteks “fungsi
sosial” dari tanah, maka sesungguhnya merekalah yang selayaknya lebih
ditinggikan posisinya. Ketidakmampuan negara menyediakan tanah kepada para
penyakap tersebut, sebagai petani dalam arti sesungguhnya, sudah sepantasnya
ditebus dengan berbagai dukungan, baik berupa sarana produksi yang terjangkau
dan kredit, termasuk perolehan bagi hasil yang lebih baik.
Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam kerangka Pembaruan Agraria
yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki
kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak diperhatikan.
Bagi hasil luput dari pembicaraan tentang Pembaruan Agraria yang masih berkutat
kepada ide-ide yang lebih besar, terutama tentang landreform yang kenyataannya
sangat sulit diimpementasikan. Dengan menyadari beratnya tantangan yang
dihadapi untuk melaksanakan landreform, maka sudah selayaknya sistem bagi hasil
mendapat perhatian seluruh pihak dengan melakukan penataan yang lebih baik dan
adil.
Di sisi lain, sistem bagi hasil juga merupakan konsep yang terbuka untuk
diaplikasikan dan dikembangkan lebih jauh, baik pada usaha pertanian tanaman
pangan, pekerbunan, maupun peternakan. Pengelolaan usaha perkebunan dengan
menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik usaha dengan buruh dan karyawan
serta masyarakat sekitar pemilik lahan misalnya, adalah solusi yang dapat
mengurangi berbagai konflik agraria yang sering terjadi selama ini.
Salah satu agenda Pembaruan Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 adalah penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan. Untuk itu, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.
Salah satu agenda Pembaruan Agraria sebagaimana diamanatkan dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 adalah penataan kembali sistem hukum dan perundang-undangan. Untuk itu, perlu dicatat oleh semua pihak, bahwa sistem hukum dan perundang-undangan untuk sistem bagi hasil yang lebih baik dan adil perlu pula menjadi perhatian.
Urgensi dan Pendekatan baru Landreform di Era Abad 21
Meskipun landreform tidak lagi menjadi isu yang hangat secara luas, namun
hal ini masih menjadi kewajiban pemerintah untuk diimplementasikan. Di level
dunia internasional, meskipun wacana tentang landreform juga sudah sangat
menurun, namun akhir-akhir ini memperoleh semangat baru yang patut
diperhatikan. Terlihat adanya perubahan motif Landreform yang tidak hanya
dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, pengurangan kemiskinan
dan ketahanan pangan; namun juga pada konteks keadilan sosial (social justice)
dan sebagai bentuk menebus dosa sejarah peristiwa perampasan lahan dan
ekploitasi di masa lalu. (Cousins, 2007).
Pendekatan pembangunan baru menggunakan pandangan bahwa basis ekonomi
landreform untuk kaum miskin (pro-poor land reform) perlu reformulasi dalam kondisi
dunia kontemporer yang semakin cepat saat ini. Reforma agraria baru ini telah
pula mempertimbangan fakta ketimpangan rezim perdagangan pertanian
internasional yang masih sulit diselesaiakan. Pertanian disadari sebagai
mekanisme yang paling mungkin untuk memberikan rasa aman terhadap mata
pencaharian bagi mayoritas penduduk di bagian Selatan, serta agar sistem
neoliberal mampu mengintegrasikan kembali mereka yang selama ini tersingkir.
Penelitian Akram-Lodhi et al. (2007), merupakan sedikit laporan yang
membahas pelaksanaan landreform di era neo-liberal. Mereka mengangkat kasus di
sepuluh negara yang mewakili berbagai region di dunia, yaitu Brazil dan Bolivia
di Amerika Latin, Filipina dan Vietnam di Asia Tenggara, Armenia dan Uzbekistan
mewakili eks Uni Soviet, serta Mesir, Namibia, Ethiopia, dan Zimbabwe di
Afrika. Brazil dan Filipina adalah contoh negara yang belum pernah menjalankan
landreform secara signifikan di masa lalu, namun sejak tahun 1990-an menjadikan
landreform sebagai agenda penting dan berperan dalam pelaksanaan pembangunan
mereka. Beberapa negara sebelumnya memiliki pemerintahan sosialis, namun
terbukti bisa menjalankan landreform dengan cukup luas, yaitu Armenia, Ethopia,
Uzbekistan, dan Vietnam.
Landreform yang mulai marak lagi semenjak akhir abad ke-20 dan terus
berlanjut pada awal abad ke-21 ini didorong oleh kesadaran terus berlanjutnya
kemiskinan dan konflik tanah yang sangat mengganggu di pedesaan. Ini
berlangsung di banyak negara. Bagaimanapun, agenda neo liberalisme, secara langsung
atau tidak memberi suasana kepada berlangsungnya landreform baru akhir-akhir
ini. Neoliberalisme dengan pendekatan pasarnya, dapat dicurigai, hanya akan
menjadikan landreform sebagai jalan agar sistem pasarnya bisa berjalan dengan
lenggang kangkung. Namun, bagaimanapun pengurangan kemiskinan merupakan kondisi
yang akan mendorong sistem pasar menjadi lebih luas, karena semakin banyak
orang yang akan masuk ke dalam sistem. Tantangan bagi pendukung reformasi
agraria saat ini adalah untuk merumuskan skenario alternatif yang masuk akal
untuk kehidupan pedesaan yang berkelanjutan dan sekaligus mampu mempertahankan
keberlanjutan ekonomi dan perkotaan.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Penelusuran dari masa ke masa menunjukkan bahwa tanah
selalu dipandang sebagai milik penguasa, yaitu raja, pemerintah kolonial,
pemerintah desa, dan negara. Di luar Jawa, pada wilayah yang kurang pengaruh
pemerintahan kolonial, tanah dipahami sebagai milik Tuhan. Namun, saat
kehadiran negara mulai dirasakan, tanah langsung menjadi milik negara.
Landreform sebagai inti reforma agraria masih membutuhkan perhatian yang serius. Penegakan dan penguatan hak petani terhadap penguasaan lahan merupakan hasil dari produk hukum dan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dari sisi hukum, dukungan tersebut cukup, meskipun beberapa produk hukum bersifat negatif. Namun dari sisi tindakan nyata pemerintah sampai saat ini tidak terlalu menggembirakan. Semenjak digulirkan di awal tahun 1950-an sampai saat ini, landreform dan pemberian lahan kepada petani tidak pernah berhasil dilaksanakan secara cukup.
Landreform sebagai inti reforma agraria masih membutuhkan perhatian yang serius. Penegakan dan penguatan hak petani terhadap penguasaan lahan merupakan hasil dari produk hukum dan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dari sisi hukum, dukungan tersebut cukup, meskipun beberapa produk hukum bersifat negatif. Namun dari sisi tindakan nyata pemerintah sampai saat ini tidak terlalu menggembirakan. Semenjak digulirkan di awal tahun 1950-an sampai saat ini, landreform dan pemberian lahan kepada petani tidak pernah berhasil dilaksanakan secara cukup.
Prinsip pokok yang harus menjadi landasan dalam pemanfaatan tanah adalah
prioritas penggunaan, yaitu: pertama untuk kepentingan umum, kedua negara, dan
ketiga baru untuk masyarakat. Namun semasa Orde Baru, makna “kepentingan umum”
sering dibiaskan dan dijadikan tameng untuk mengakuisisi sebidang tanah, baik
itu milik negara maupun pribadi. Dalam kejadian ini, petani tidak menjadi
prioritas.
Landreform dengan memberikan lahan yang cukup kepada petani disepakati
seluruh pihak sebagai hal yang harus dilakukan pemerintah. Namun, dengan
berbagai alasan, yang dijelaskan atau tidak ke publik, program landreform tidak
pernah efektif. Dalam kondisi absennya ladreform, meskipun masih tetap saja
diwacanakan (mungkin sebagai hiburan), beberapa bentuk upaya lain masih dapat
dijalankan. Tiga di antaranya adalah konsolidasi lahan, transmigrasi, dan
perbaikan sistem bagi hasil. Perbaikan sistem bagi hasil, yang berada pada sisi
non-landreform, selama ini sangat jarang diperhatikan dan hampir tidak pernah
dibicarakan, karena dianggap sebagai hal yang personal antara pemilik tanah dan
penyakap
III.2 SARAN
Saran kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya. Aaaammmmmmmmmiiiiinnnn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar